Surabaya di malam hari menyimpan hiruk-pikuk yang tak pernah tidur. Gemerlap lampu kota bertabrakan dengan suara klakson, menciptakan harmoni modernitas yang selalu menarik Ghiga Setiawan. Pemuda 22 tahun ini dikenal sebagai anak jenius, programmer ulung, dan ahli teknologi. Namun, di balik layar komputer dan prestasinya, ada sisi lain dari dirinya: seorang pesilat yang tangguh.
Di malam yang tenang itu, Ghiga menerima sebuah pesan aneh di laptopnya. Pesan itu datang tanpa pengirim, hanya berupa teks:
"Warisan leluhurmu menunggu di tempat di mana langkah pertama silatmu dimulai. Jangan abaikan ini, atau semuanya akan hilang."
Ghiga mengerutkan dahi, mencoba memahami maksud pesan tersebut. Ia merasa pesan ini hanya lelucon—mungkin dari teman-temannya yang ingin menguji kecerdasannya. Namun, kata-kata "langkah pertama silatmu" memicu sesuatu dalam pikirannya. Itu adalah tempat di mana ia pertama kali berlatih silat: sebuah padepokan tua di pinggiran kota yang kini hampir terlupakan.
Rasa penasaran membawanya pergi malam itu. Dengan motor sport kesayangannya, Ghiga melintasi jalanan Surabaya yang mulai sepi. Di sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi teka-teki. Siapa yang mengirim pesan itu? Apa maksudnya dengan "warisan leluhur"?
Ketika Ghiga tiba di padepokan tua, suasana terasa berbeda. Bangunan itu terlihat lebih suram daripada yang ia ingat. Lampu-lampu redup menerangi area kosong yang kini dipenuhi rumput liar. Ghiga melangkah masuk dengan hati-hati.
Di tengah aula utama, ia menemukan sebuah peti kayu kecil yang tampak kuno. Peti itu dihiasi ukiran motif batik dan aksara Jawa yang tak sepenuhnya ia pahami. Tangan Ghiga gemetar saat membukanya, seolah ada sesuatu yang menahannya. Di dalamnya, ada sebuah keris kecil dan gulungan kertas kuno.
Ketika Ghiga menyentuh keris itu, sebuah getaran aneh menjalar di tubuhnya, seperti percikan listrik yang membangunkan sesuatu yang tertidur dalam dirinya. Ia mendengar suara—bukan dari luar, tetapi dari dalam pikirannya sendiri.
"Engkau telah menemukan jejak pertama. Pilihanmu menentukan nasib banyak orang. Apakah engkau siap menerima takdirmu?"
Ghiga tersentak, menjatuhkan keris tersebut. Keringat dingin membasahi dahinya, sementara matanya terus menatap keris itu dengan perasaan takut dan penasaran. Ia tidak tahu bahwa saat itu, hidupnya telah memasuki babak baru yang penuh misteri dan bahaya.
Di kejauhan, tanpa sepengetahuan Ghiga, sepasang mata mengintainya dari balik bayangan. Sosok itu mengangkat ponselnya, mengirimkan pesan pendek:
"Target telah menemukan pusaka. Awasi setiap gerakannya."
Malam itu menjadi awal perjalanan Ghiga menuju kebenaran tentang dirinya—dan rahasia yang diwariskan oleh leluhurnya.