Ghiga: Pewaris Takdir Leluhur Session 1 Bagian 3

 Pagi harinya, Ghiga tak bisa melupakan peta dan keris yang ia temukan di padepokan. Ia memutuskan untuk meneliti lebih lanjut di ruang kerjanya. Dengan laptop terhubung ke server pribadi, ia mulai menganalisis gambar peta yang ia potret semalam.  


Peta itu menunjukkan wilayah yang tak asing baginya—area di selatan Surabaya, dekat kawasan pegunungan yang jarang dijamah orang. Ada tanda silang merah di tengah peta, dikelilingi simbol-simbol kuno yang tidak ia pahami.  


“Apa maksudnya ini?” gumam Ghiga, mengerutkan dahi. Ia mencoba mencocokkan peta itu dengan peta modern menggunakan perangkat lunaknya, tapi hasilnya tetap membingungkan. Beberapa area di peta kuno itu tidak cocok dengan lanskap saat ini, seolah-olah ada bagian wilayah yang hilang ditelan waktu.  


Saat tengah fokus, ponselnya berbunyi. Pesan dari Arman, sahabatnya:  

"Bro, malam ini ketemuan di café biasa. Aku ada cerita seru. Datang, ya!"  


Ghiga terdiam. Ia ragu untuk bertemu Arman setelah kejadian semalam, tapi ia juga merasa butuh teman bicara. Setelah beberapa saat berpikir, ia mengetik balasan singkat, "Oke."  


Malam di Café  

Di café favorit mereka, Ghiga melihat Arman sudah duduk di meja dekat jendela. Sahabatnya itu menyambut dengan senyum lebar, seolah tak ada yang aneh. Mereka memesan kopi dan mulai berbincang tentang hal-hal biasa, mulai dari pekerjaan hingga kehidupan sehari-hari.  


Namun, rasa gelisah membuat Ghiga akhirnya membuka topik serius. "Bro, aku nemu sesuatu tadi malam."  


Arman menyandarkan tubuhnya, tampak penasaran. "Apa itu?"  


Ghiga membuka galeri ponselnya dan menunjukkan foto peta yang ia temukan. "Ini peta kuno. Aku nemu di padepokan tempat kita dulu latihan silat."  


Ekspresi Arman berubah seketika, meski ia berusaha menyembunyikannya. "Peta apa ini? Apa pentingnya?"  


"Entahlah," jawab Ghiga serius. "Tapi semalam, ada orang nyerang aku gara-gara peta ini."  


Arman tertawa kecil, mencoba meremehkan situasi. "Bro, kamu kebanyakan baca cerita misteri. Peta kayak gini paling cuma barang antik, nggak ada hubungannya sama kita."  


Namun, dalam hatinya, Arman panik. Ia mengenali peta itu. Beberapa hari sebelumnya, ia menerima perintah dari sebuah organisasi misterius bernama Sang Kala Teknokrat untuk memantau Ghiga. Organisasi itu mengincar pusaka yang kini ada di tangan sahabatnya.  


Arman mencoba mengalihkan perhatian. "Udahlah, bro. Nggak usah dipikir serius. Besok kita jalan-jalan aja biar pikiranmu fresh."  


Ghiga tersenyum tipis. Meski tampak tenang, ia merasa ada yang janggal. Arman biasanya sangat ingin tahu, tapi kali ini ia justru terlihat menghindar.  


Peringatan dalam Bayangan  

Setelah pertemuan itu, Ghiga kembali ke rumah dengan pikiran penuh kecurigaan. Dengan keahlian hacking-nya, ia menyelidiki latar belakang Arman. Melalui sistem perbankan yang ia akses secara diam-diam, ia menemukan riwayat transfer uang dalam jumlah besar ke rekening Arman dari sumber anonim.  


“Arman… apa sebenarnya yang kamu lakukan?” bisiknya pelan.  


Saat Ghiga mendalami data itu, tiba-tiba lampu di ruang kerjanya padam. Monitor laptopnya mati, dan suasana berubah mencekam. Di tengah kegelapan, ia mendengar suara langkah kaki mendekat dari luar.  


Ghiga segera meraih tongkat lipat yang selalu ia bawa, menyalakan senter, dan berjalan ke pintu. Sosok bertopeng yang menyerangnya semalam kini berdiri di ambang pintu, ditemani dua orang lain yang membawa senjata tajam.  


“Serahkan peta dan keris itu, atau kamu tidak akan selamat,” ujar salah satu dari mereka.  


Ghiga tidak menjawab. Ia tahu mereka tidak akan pergi begitu saja. Dengan sigap, ia bersiap menghadapi mereka.  


Pertarungan sengit pun terjadi di ruang sempit. Ghiga menggunakan teknik silat untuk melawan mereka, namun lawan-lawan ini jelas terlatih. Meskipun berhasil melumpuhkan salah satu, dua orang lainnya terus menyerang dengan brutal.  


Di tengah perkelahian, salah satu penyerang berhasil meraih peta di meja. Mereka segera kabur sebelum Ghiga sempat menghentikan mereka.  


Dengan napas tersengal, Ghiga terduduk di lantai. Kekacauan di sekitarnya mencerminkan kondisi pikirannya. Ia tahu kehilangan peta itu bukan akhir dari segalanya—ini hanya awal dari perjalanan yang lebih berbahaya.  


Namun, yang paling menghancurkan adalah kenyataan bahwa Arman, sahabat yang selalu ia percayai, mungkin menjadi bagian dari semua ini. Pengkhianatan itu lebih menyakitkan daripada luka fisik apa pun.