Setelah berhasil memperoleh Cincin Kala Manik, Ghiga dan timnya berlindung di sebuah rumah penginapan sederhana di kaki Gunung Bromo. Meski tubuh mereka lelah, pikiran mereka terus dipenuhi oleh bayangan ancaman dari Sang Kala Teknokrat dan tugas besar yang masih harus mereka tuntaskan.
Ki Harjo duduk di sudut ruangan, menatap Ghiga yang sedang membersihkan tombaknya. “Ghiga, perjalanan ini semakin sulit. Kau harus mempersiapkan dirimu, bukan hanya secara fisik, tapi juga batin.”
“Pak, apa yang sebenarnya pusaka terakhir itu?” tanya Ghiga. “Dan kenapa penting sekali untuk melindunginya?”
Ki Harjo terdiam sejenak sebelum menjawab, “Pusaka terakhir adalah Keris Jagat Pralaya, lambang kehancuran dan penciptaan. Keris ini bukan hanya senjata, tapi juga kunci untuk menjaga keseimbangan dunia. Jika jatuh ke tangan yang salah, itu bisa digunakan untuk memulai kehancuran besar-besaran.”
Pak Surya menimpali. “Dr. Baskara pasti sudah tahu lokasi keris itu. Dengan teknologi mereka, mereka bisa lebih dulu sampai ke sana jika kita tidak bergerak cepat.”
Arman yang sedang mempelajari peta lokasi pusaka terakhir ikut berbicara, “Menurut dokumen yang aku retas dari server mereka, keris itu ada di sebuah kompleks candi kuno yang terkubur di dalam hutan di dekat Alas Purwo.”
Mimpi yang Menghantui
Malam itu, Ghiga mengalami mimpi aneh. Ia berada di tengah hutan lebat yang gelap, hanya diterangi oleh sinar bulan. Di depannya, seorang pria berjubah putih berdiri, memegang keris yang bercahaya.
“Ghiga,” suara pria itu bergema, “pilihanmu di masa depan akan menentukan apakah dunia ini akan seimbang atau hancur. Jangan biarkan ambisi atau dendam menguasaimu.”
Sebelum Ghiga sempat bertanya lebih lanjut, bayangan hitam besar muncul, mencoba merebut keris dari tangan pria itu. Ghiga berlari untuk membantu, tetapi ia terbangun dengan napas terengah-engah, keringat dingin mengalir di dahinya.
Arman yang tidur di ranjang sebelahnya terbangun. “Bro, kamu kenapa? Mimpi buruk?”
Ghiga mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. “Aku rasa... ini bukan sekadar mimpi. Aku diberi peringatan.”
Serangan Tengah Malam
Saat mereka masih beristirahat, Pak Surya yang berjaga di luar tiba-tiba masuk dengan wajah panik. “Mereka menemukan kita! Sang Kala Teknokrat ada di sini!”
Sebelum mereka sempat bereaksi, suara ledakan terdengar dari arah belakang rumah. Ghiga dan yang lain segera bersiap. Ghiga menggenggam tombaknya, sementara Arman dan Pak Surya mengambil alat-alat elektronik untuk mencoba mengganggu sinyal musuh.
Di luar, Nadia kembali memimpin serangan, kali ini dengan pasukan yang lebih besar. “Serahkan cincin itu, Ghiga, dan aku mungkin akan membiarkan kalian hidup!” teriaknya.
Ghiga keluar dari rumah, menghadapi Nadia dengan tenang. “Kamu sudah kalah sebelumnya. Apa nggak cukup?”
“Kali ini aku tidak datang sendiri,” balas Nadia. Dari arah gelap, muncul dua pria besar dengan armor eksoskeleton yang tampak lebih canggih daripada sebelumnya.
Pertarungan sengit pun terjadi. Ghiga harus mengandalkan kemampuan silatnya yang dikombinasikan dengan kekuatan Cincin Kala Manik. Dengan cincin itu, ia bisa membaca gerakan musuh lebih cepat, tetapi jumlah mereka yang banyak membuatnya kewalahan.
Sementara itu, Arman dan Pak Surya bekerja sama untuk memutuskan komunikasi musuh dengan markas mereka. Ki Harjo menggunakan tongkat kayunya untuk melumpuhkan beberapa penyerang yang mencoba mendekati rumah.
Pertemuan Tak Terduga
Saat Ghiga hampir terpojok, seorang wanita misterius tiba-tiba muncul dari kegelapan, menyerang para musuh dengan gerakan cepat dan presisi. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan menggunakan keris kecil sebagai senjatanya.
“Siapa kamu?” tanya Ghiga saat wanita itu berdiri di sampingnya.
“Aku teman,” jawabnya singkat. “Namaku Maya. Aku juga punya urusan dengan Dr. Baskara.”
Berkat bantuan Maya, mereka berhasil memukul mundur Nadia dan pasukannya. Namun, sebelum pergi, Nadia memberikan peringatan terakhir.
“Kalian mungkin menang malam ini, tapi Dr. Baskara sudah menemukan lokasi keris terakhir. Waktumu hampir habis, Ghiga.”
Setelah para musuh mundur, Ghiga menghadap Maya. “Kenapa kamu membantu kami?”
Maya menatapnya dengan tajam. “Karena Baskara telah menghancurkan keluargaku. Aku sudah lama menunggu kesempatan untuk menjatuhkannya.”
Ki Harjo menyela. “Kalau begitu, kita punya tujuan yang sama. Tapi perjalanan ini tidak mudah. Kau yakin bisa melanjutkan bersama kami?”
Maya mengangguk. “Aku tidak punya pilihan lain. Kita harus menghentikan Baskara, apa pun risikonya.”
Menuju Tantangan Terakhir
Keesokan paginya, kelompok itu bersiap untuk perjalanan ke Alas Purwo, lokasi pusaka terakhir. Dengan tambahan Maya, mereka merasa lebih kuat, tetapi juga sadar bahwa waktu semakin mendesak.
Pak Surya memberikan peringatan terakhir. “Keris ini bukan sembarang pusaka. Ini adalah sumber kekuatan besar. Jangan biarkan siapa pun menyentuhnya kecuali kau, Ghiga.”
Ghiga mengangguk, menatap tombak dan cincin yang kini ia bawa. Beban di pundaknya terasa semakin berat, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menyerah.
“Ini saatnya menyelesaikan semua ini,” kata Ghiga, penuh tekad.
Kelompok itu meninggalkan Gunung Bromo, menuju lokasi pusaka terakhir di Alas Purwo, tempat di mana takdir Ghiga akan dipertaruhkan dalam pertempuran paling menentukan.