Di bawah bimbingan Ki Harjo, Ghiga memulai perjalanan mendalam untuk menguasai warisan leluhurnya. Pelatihan ini tidak hanya menguji kemampuan fisik, tetapi juga mental dan spiritualnya.
Latihan Fisik: Silat dan Ilmu Leluhur
Ki Harjo mengajarkan Ghiga ilmu silat tingkat tinggi yang diwariskan langsung oleh Raden Arya Sakti. Gerakannya halus tetapi mematikan, menggunakan prinsip keseimbangan antara kecepatan dan kekuatan.
Namun, Ghiga tidak hanya diajarkan seni bertarung. Ia juga belajar tentang filosofi di balik setiap gerakan: bahwa bela diri bukan hanya untuk melawan, tetapi juga untuk melindungi.
“Ingatan tubuhmu sudah terbentuk sejak kecil melalui silat,” ujar Ki Harjo suatu hari. “Tapi kini, kau harus belajar mengintegrasikan itu dengan pikiran yang jernih dan hati yang murni. Hanya itu yang akan membuatmu benar-benar tak terkalahkan.”
Latihan fisik ini berlangsung di lokasi yang terpencil, sebuah hutan di dekat lereng gunung. Di sana, Ghiga juga dilatih bertahan hidup di alam liar. Ia belajar membaca jejak, menggunakan senjata tradisional, dan meningkatkan naluri kewaspadaannya.
Ujian Spiritual: Kendalikan Emosi
Salah satu ujian terbesar Ghiga adalah mengendalikan emosinya. Luka hati karena pengkhianatan Arman masih membekas. Ki Harjo menyadari ini dan memanfaatkannya sebagai bahan pelajaran.
“Dendam adalah racun, Ghiga,” kata Ki Harjo sambil menatapnya dalam-dalam. “Jika kau biarkan, ia akan membakar hatimu. Kekuatan sejati lahir dari kedamaian, bukan kemarahan.”
Ki Harjo kemudian meminta Ghiga untuk bermeditasi di tepi sungai setiap malam. Selama berminggu-minggu, Ghiga berusaha memusatkan pikirannya, mengosongkan hatinya dari kebencian, dan menggantinya dengan ketenangan.
Awalnya, ia merasa sulit. Bayangan Arman dan keluarga Ghiga yang masih dalam bahaya terus mengganggu pikirannya. Namun, perlahan, ia mulai menemukan kedamaian. Setiap kali ia teringat pengkhianatan Arman, ia mencoba mengubah kemarahan itu menjadi tekad untuk melindungi yang lain.
Pesan dari Masa Lalu
Di sela latihan, Ghiga menemukan sesuatu yang mengejutkan. Dalam salah satu meditasi malamnya, ia mengalami semacam visi. Ia melihat sosok Raden Arya Sakti berdiri di hadapannya, berbicara dengan suara yang dalam dan berwibawa.
“Keteguhan hatimu adalah kunci,” kata sosok itu. “Pusaka ini hanya akan bekerja dengan kehendak yang murni. Jangan tergoyahkan oleh godaan dunia.”
Ghiga terbangun dengan keringat dingin. Ia merasa bahwa pesan ini adalah peringatan sekaligus petunjuk untuk perjalanan yang akan datang.
Sinyal Ancaman
Ketika latihan Ghiga hampir selesai, Ki Harjo menerima kabar buruk. Seorang informan rahasianya memberi tahu bahwa Sang Kala Teknokrat sedang bergerak menuju salah satu lokasi pusaka berikutnya. Lokasi itu adalah sebuah kuil kuno di wilayah Blitar, yang dikenal sebagai tempat suci dengan nilai sejarah tinggi.
“Waktumu untuk belajar sudah hampir habis,” kata Ki Harjo. “Kita harus bergerak sebelum mereka sampai di sana.”
Ghiga merasa cemas, tetapi juga siap. Ia tahu bahwa perjalanan ini akan membawa tantangan baru yang lebih berat, tetapi ia percaya pada apa yang telah dipelajarinya.
Dengan bekal ilmu, keris pusaka, dan keyakinan yang lebih kuat, Ghiga dan Ki Harjo bersiap untuk menghadapi ancaman besar di Blitar. Namun, Ghiga tidak menyadari bahwa seseorang yang tidak asing akan menunggunya di sana—Arman, yang kini menjadi bagian dari rencana licik Dr. Baskara.
Pertarungan untuk melindungi pusaka selanjutnya akan segera dimulai.