Pagi yang dingin menyelimuti hutan tempat Ghiga berlatih. Setelah memastikan semua perlengkapan siap, Ghiga dan Ki Harjo memulai perjalanan mereka menuju Blitar, lokasi pusaka berikutnya. Ki Harjo menjelaskan bahwa kuil kuno yang mereka tuju adalah tempat disimpannya Tombak Naga Sukma, salah satu pusaka legendaris yang menjadi bagian dari warisan leluhur Ghiga.
Sepanjang perjalanan, Ki Harjo terus mengingatkan Ghiga untuk waspada. “Sang Kala Teknokrat bukan hanya mengandalkan teknologi. Mereka juga menggunakan cara licik untuk membuatmu lengah. Jangan pernah abaikan nalurimu,” pesan Ki Harjo.
Dalam perjalanan melewati desa-desa kecil, Ghiga mulai merasakan ketegangan yang tidak biasa. Warga setempat tampak gelisah, dan beberapa di antaranya bahkan enggan berbicara saat ditanya tentang kuil kuno itu.
“Sepertinya mereka sudah bergerak,” kata Ghiga pelan. Ki Harjo mengangguk setuju.
Penyergapan di Tengah Perjalanan
Malam tiba ketika Ghiga dan Ki Harjo melintasi jalan setapak menuju hutan terakhir sebelum sampai di kuil. Di tengah perjalanan, suara-suara aneh terdengar dari kegelapan—dahan patah, langkah kaki yang tersembunyi.
“Berhenti,” bisik Ki Harjo. Ia memberi isyarat kepada Ghiga untuk bersiap.
Tak lama, dari balik pepohonan, sekelompok orang muncul. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dengan peralatan canggih—penutup wajah, kacamata malam, dan senjata modern.
“Menyerahlah,” kata salah satu dari mereka dengan nada dingin. “Kalian tidak akan melewati tempat ini hidup-hidup.”
Ghiga melirik Ki Harjo. “Sepertinya kita tidak punya pilihan, Ki.”
Ki Harjo tersenyum tipis. “Ingat semua yang telah kau pelajari, Ghiga.”
Tanpa peringatan, perkelahian pecah. Ghiga menggunakan ilmu silatnya untuk melawan para penyerang. Ia bergerak dengan gesit, menghindari serangan dan melumpuhkan lawan satu per satu.
Namun, para penyerang ini bukan musuh biasa. Mereka tampaknya sudah dilatih untuk menghadapi bela diri tradisional. Beberapa dari mereka menggunakan senjata listrik yang memaksa Ghiga untuk lebih berhati-hati.
Di sisi lain, Ki Harjo menunjukkan kemampuan luar biasanya. Meski sudah tua, gerakannya tetap cepat dan presisi. Ia mampu mengalahkan beberapa penyerang dengan mudah, menunjukkan bahwa ia adalah seorang pendekar sejati.
Setelah pertarungan sengit, para penyerang mulai mundur. Namun, salah satu dari mereka melemparkan granat asap, membuat Ghiga dan Ki Harjo kehilangan jejak mereka.
“Ini baru permulaan,” ujar Ghiga sambil mengatur napasnya.
Kuil yang Terlupakan
Pagi berikutnya, mereka akhirnya tiba di kuil kuno yang tersembunyi di tengah hutan. Kuil itu tampak sunyi, tetapi ada tanda-tanda bahwa tempat ini baru saja dijamah orang lain—bekas jejak kaki di tanah dan beberapa pintu batu yang terbuka.
“Cepat. Kita harus masuk sebelum mereka menemukan tombak itu,” kata Ki Harjo.
Di dalam kuil, mereka menemukan serangkaian lorong gelap yang dihiasi dengan ukiran kuno. Ukiran itu menggambarkan cerita tentang Tombak Naga Sukma—senjata yang mampu memancarkan kekuatan besar jika digunakan dengan niat murni, tetapi bisa membawa kehancuran jika jatuh ke tangan yang salah.
Ketika mereka semakin dalam, Ghiga merasakan aura yang semakin kuat. Ia merasa ada sesuatu yang memanggilnya dari dalam kuil.
Namun, sebelum mereka mencapai ruangan utama, suara langkah kaki mendekat. Dari balik bayangan, muncul seseorang yang sudah tidak asing lagi.
“Arman…” Ghiga terdiam, perasaan kecewa dan marah bercampur jadi satu.
Arman berdiri dengan ekspresi penuh rasa bersalah, tetapi di belakangnya terlihat anggota Sang Kala Teknokrat yang siap menyerang.
“Ghig, aku nggak mau ini terjadi. Tapi aku harus melakukannya,” kata Arman dengan nada putus asa.
“Jadi, kamu benar-benar bekerja untuk mereka?” tanya Ghiga tajam.
“Aku nggak punya pilihan…” Arman menunduk. Namun, di matanya terlihat kebimbangan.
Pertarungan di Dalam Kuil
Pertarungan tidak bisa dihindari. Para anggota Sang Kala Teknokrat menyerang, dan Ghiga harus melindungi dirinya sekaligus memastikan Arman tidak menghalangi jalannya.
Ki Harjo menghadapi salah satu musuh terkuat, sementara Ghiga harus melawan beberapa orang sekaligus. Di tengah pertempuran, Arman terlihat ragu-ragu untuk ikut menyerang.
“Arman, ini kesempatan terakhirmu!” seru Ghiga di tengah pertarungan. “Buktikan kalau kamu masih punya hati!”
Arman tampak bingung, tetapi sebelum ia bisa membuat keputusan, salah satu anggota organisasi mencoba menyerangnya karena dianggap tidak loyal. Arman berhasil menghindar, tetapi serangan itu membuatnya semakin terpojok.
Melihat itu, Ghiga mengambil risiko untuk menyelamatkan sahabatnya. Ia melompat ke arah Arman, menangkis serangan, dan menjatuhkan lawannya.
“Bangun, bro. Kalau kamu mau berubah, sekarang waktunya,” kata Ghiga dengan nada tegas.
Arman menatap Ghiga dengan mata berkaca-kaca, lalu mengangguk. Ia akhirnya berbalik melawan anggota Sang Kala Teknokrat.
Pertarungan ini menjadi semakin sengit, tetapi dengan kerja sama antara Ghiga, Arman, dan Ki Harjo, mereka berhasil mengalahkan musuh dan mencapai ruangan utama.
Di sana, mereka menemukan Tombak Naga Sukma, berdiri megah di tengah altar kuno. Namun, saat Ghiga hendak mendekatinya, sebuah suara menggelegar menggema di ruangan itu.
“Bagus sekali. Kalian berhasil sampai di sini.”
Dari kegelapan, muncul Dr. Baskara, pemimpin Sang Kala Teknokrat. Wajahnya penuh senyum licik, sementara di belakangnya muncul pasukan baru yang lebih besar.
“Pertunjukan ini baru dimulai,” katanya sambil menatap tajam ke arah Ghiga.