Perjalanan menuju Gunung Bromo membawa Ghiga, Ki Harjo, Arman, dan Pak Surya ke tempat yang semakin jauh dari keramaian. Mereka harus berhati-hati, menghindari pelacakan dari Sang Kala Teknokrat yang semakin agresif. Pak Surya memandu mereka melewati jalur-jalur tersembunyi yang hanya diketahui oleh segelintir orang.
“Pusaka kedua ini disebut Cincin Kala Manik,” jelas Ki Harjo sambil berjalan. “Konon, cincin ini melambangkan kejernihan pikiran. Ia memberikan pemakainya kemampuan untuk melihat kebenaran di balik tipu daya.”
“Kalau begitu, kenapa pusaka ini ada di Bromo?” tanya Ghiga.
“Gunung Bromo bukan sekadar tempat wisata,” jawab Pak Surya. “Banyak rahasia tersembunyi di balik legenda dan keindahannya. Leluhurmu menyimpan cincin ini di tempat yang hanya bisa dijangkau oleh orang yang benar-benar layak.”
Pemandu Misterius
Di kaki gunung, mereka bertemu seorang pria tua yang mengaku sebagai penjaga tempat itu. Namanya Pak Darman, dan ia tampak mengenali Ki Harjo.
“Ki Harjo, sudah lama sekali. Aku tahu kalian akan datang,” katanya dengan suara berat. “Tapi jalan menuju cincin itu tidak mudah. Banyak ujian yang harus dilewati, dan hanya yang berhati bersih yang bisa berhasil.”
Pak Darman mengantar mereka ke sebuah gua tersembunyi di lereng gunung. Pintu gua itu dihiasi ukiran kuno yang tampak berkilau di bawah sinar matahari.
“Masuklah,” kata Pak Darman. “Tapi ingat, hanya mereka yang punya keberanian dan hati murni yang bisa keluar dengan selamat.”
Ghiga mengangguk. “Aku siap.”
Arman tampak ragu. “Bro, kalau ini jebakan lagi gimana?”
Ghiga menepuk bahunya. “Kita udah sejauh ini. Jangan ragu. Aku butuh kamu.”
Ujian di Dalam Gua
Begitu mereka masuk, pintu gua tiba-tiba tertutup rapat, meninggalkan mereka dalam kegelapan. Sebuah suara bergema di seluruh gua, seolah datang dari tempat yang sangat jauh.
“Untuk mendapatkan Cincin Kala Manik, kau harus menghadapi ujianmu sendiri. Hanya yang jujur dan setia pada kebenaran yang akan menemukan jalan keluar.”
Ruangan pertama dipenuhi dengan cermin besar yang memantulkan bayangan mereka. Namun, setiap kali Ghiga mendekat, bayangan itu berubah menjadi versi dirinya yang menyeramkan, penuh amarah dan keserakahan.
“Ini... apa?” tanya Arman, mundur ketakutan.
“Ini ujian batin,” jawab Ki Harjo. “Ghiga, kau harus menghadapinya.”
Bayangan itu mulai berbicara, mengejek Ghiga. “Kamu bilang ingin menyelamatkan dunia, tapi apa benar itu tujuanmu? Atau kamu hanya ingin diakui? Kamu sombong, Ghiga. Kamu tidak lebih baik dari orang-orang yang kau lawan.”
Ghiga menggertakkan giginya. Ia tahu bahwa bayangan itu mencoba memancing emosinya. Ia mengingat ajaran Ki Harjo tentang ketenangan dan kejernihan hati.
“Aku tahu siapa diriku,” katanya tegas. “Aku bukan sempurna, tapi aku berjuang untuk memperbaiki dunia, bukan untuk diriku sendiri.”
Bayangan itu lenyap, dan sebuah jalan terbuka di dinding gua.
Pengkhianatan Baru
Di ruangan berikutnya, mereka menemukan Cincin Kala Manik yang terletak di atas sebuah altar kecil. Cahaya dari cincin itu memancarkan aura damai, membuat mereka semua terdiam.
Namun, sebelum Ghiga bisa mendekat, suara ledakan terdengar dari belakang. Dinding gua terbuka paksa, dan anggota Sang Kala Teknokrat menyerbu masuk, dipimpin oleh salah satu tangan kanan Dr. Baskara yang dikenal sebagai Nadia.
“Bagus sekali, kalian sudah menemukan cincin itu untuk kami,” kata Nadia dengan senyum licik.
Ghiga berdiri di depan altar, melindungi cincin itu. “Kalian nggak akan menyentuhnya.”
Nadia tertawa. “Beraninya kau, Ghiga. Kau lupa bahwa kau dikelilingi?”
Arman tiba-tiba melangkah ke depan. “Aku bisa bantu kalian,” katanya dengan suara penuh ketakutan.
Ghiga terkejut. “Arman! Kamu serius?”
“Aku nggak mau mati di sini, bro. Maaf,” jawab Arman sambil menunduk.
Namun, saat Nadia memerintahkan anak buahnya untuk mengambil cincin, Arman tiba-tiba berbalik menyerang mereka dengan alat pelumpuh yang ia sembunyikan.
“Maaf, aku cuma berpura-pura,” katanya kepada Ghiga.
Ghiga tersenyum samar. “Kamu masih punya nyali, ternyata.”
Pertarungan Sengit
Pertarungan di dalam gua itu berlangsung sengit. Ghiga menggunakan tombaknya untuk melindungi cincin, sementara Ki Harjo dan Arman bertarung dengan cara mereka masing-masing.
Nadia terbukti sebagai lawan yang tangguh. Dengan kecepatan dan keahliannya dalam seni bela diri modern, ia mampu mengimbangi Ghiga. Namun, ketika Ghiga berhasil menyentuh Cincin Kala Manik, sesuatu yang luar biasa terjadi.
Cincin itu memberikan Ghiga kemampuan untuk membaca gerakan Nadia sebelum ia menyerang. Dengan kejernihan pikiran yang baru, Ghiga mampu mengalahkan Nadia dan memaksanya mundur bersama anak buahnya.
Awal dari Tantangan Baru
Setelah pertarungan selesai, mereka keluar dari gua dengan Cincin Kala Manik. Pak Darman menyambut mereka dengan senyuman.
“Kalian telah membuktikan diri,” katanya. “Tapi ingat, perjalanan kalian belum selesai. Masih ada satu pusaka lagi yang harus ditemukan.”
Ghiga menggenggam cincin itu erat. Ia tahu bahwa semakin dekat mereka dengan tujuan, semakin besar bahaya yang akan mereka hadapi. Namun, dengan tombak dan cincin di tangannya, ia merasa lebih siap dari sebelumnya.
Namun, di kejauhan, Dr. Baskara menerima laporan tentang kegagalan Nadia. Ia menatap peta lokasi pusaka terakhir dengan senyum dingin.
“Waktumu hampir habis, Ghiga,” gumamnya. “Aku akan memastikan kau tidak pernah sampai ke pusaka terakhir.”
Bagian ini diakhiri dengan suasana tegang, mempersiapkan pertempuran yang lebih besar di bagian berikutnya.