Ghiga: Pewaris Takdir Leluhur Session 1 Bagian 9

 Setelah berhasil mendapatkan Tombak Naga Sukma, Ghiga, Ki Harjo, dan Arman kembali ke desa terpencil untuk beristirahat dan menyusun rencana berikutnya. Meskipun telah memenangkan pertempuran di kuil, ancaman dari Sang Kala Teknokrat belum berakhir.  


Di rumah sederhana Ki Harjo, mereka duduk di lantai, membahas langkah selanjutnya.  


“Pusaka ini hanyalah bagian dari teka-teki,” ujar Ki Harjo sambil memandang tombak yang kini berada di tengah ruangan. “Masih ada dua pusaka lain yang harus ditemukan agar kita bisa mengunci kekuatan leluhur dan melindungi dunia dari kehancuran.”  


“Dua pusaka lain?” Ghiga mengernyit. “Apa yang terjadi kalau mereka sampai ke tangan Dr. Baskara?”  


Ki Harjo menarik napas panjang. “Keseimbangan akan runtuh. Teknologi tanpa nilai-nilai luhur akan menjadi alat penghancur yang tidak bisa dikendalikan.”  


Arman yang duduk di sudut ruangan tampak gelisah. “Aku tahu satu hal tentang mereka,” katanya pelan. “Sang Kala Teknokrat punya teknologi pelacak yang canggih. Mereka pasti tahu gerak-gerik kita.”  


“Bagus kalau kamu tahu,” jawab Ghiga dengan nada datar. “Berarti kamu juga tahu bagaimana menghentikan mereka.”  


Arman mengangguk. “Aku bisa mencoba meretas sistem mereka untuk melumpuhkan pelacaknya. Tapi kita butuh tempat yang lebih aman, dan aku butuh akses perangkat yang lebih canggih.”  


Ki Harjo memandang Ghiga. “Kita harus pergi ke tempat lain. Ada seseorang yang bisa membantu kita.”  


“Siapa?” tanya Ghiga.  


“Salah satu muridku dulu. Namanya Pak Surya. Dia ahli teknologi seperti kamu, Ghiga, tapi juga memahami tradisi leluhur. Dia tinggal di Malang, di sebuah lokasi terpencil. Kalau dia setuju membantu kita, kita akan punya peluang lebih besar.”  


Perjalanan ke Malang  

Mereka memulai perjalanan ke Malang dengan menyamar agar tidak menarik perhatian. Ghiga tetap memegang tombak dengan hati-hati, menyembunyikannya dalam kain agar tidak terlihat oleh orang lain.  


Di tengah perjalanan, Arman mencoba memperbaiki hubungannya dengan Ghiga.  


“Ghig, aku tahu aku salah. Aku nggak bisa berharap kamu langsung percaya, tapi aku benar-benar ingin membantu,” kata Arman.  


Ghiga menatapnya tajam. “Kamu nggak cuma menghianati aku, bro. Kamu juga hampir membahayakan keluargaku.”  


Arman terdiam, lalu berkata pelan, “Aku melakukan itu karena aku takut. Baskara mengancamku. Dia bilang kalau aku nggak nurut, dia akan menghabisi semua yang aku sayangi.”  


“Jadi kamu pikir dengan mengorbankan orang lain, kamu bisa menyelamatkan dirimu sendiri?” balas Ghiga.  


Arman tertunduk. “Aku bodoh. Tapi aku janji, aku akan membantu sekuat tenaga untuk memperbaiki ini.”  


Ghiga menghela napas. “Kita lihat nanti.”  


Pak Surya dan Markas Rahasia  

Setibanya di Malang, Ki Harjo membawa mereka ke rumah sederhana Pak Surya. Rumah itu berada di tengah hutan, dengan teknologi canggih tersembunyi di dalamnya.  


Pak Surya, pria paruh baya dengan kacamata tebal, menyambut mereka dengan ramah. “Ki Harjo, lama sekali kita tidak bertemu,” katanya sambil menjabat tangan Ki Harjo.  


Setelah mendengar cerita mereka, Pak Surya setuju untuk membantu. Ia membawa mereka ke ruang bawah tanahnya, yang ternyata adalah laboratorium penuh dengan komputer canggih dan peralatan modern.  


“Kalian bisa bekerja dari sini. Aku akan pastikan sinyal kalian tidak bisa dilacak oleh Sang Kala Teknokrat,” kata Pak Surya.  


Arman mulai bekerja dengan peralatan Pak Surya. Ia mencoba mengakses jaringan Sang Kala Teknokrat, mencari tahu lokasi pusaka berikutnya dan rencana mereka.  


Namun, saat ia hampir berhasil, sistem pertahanan organisasi itu menyerang balik, mengirimkan virus ke perangkat mereka.  


“Ini jebakan!” seru Arman. “Mereka tahu kita di sini!”  


Serangan Tak Terduga  

Tidak lama setelah itu, sinyal peringatan berbunyi di seluruh rumah. Kamera pengawas menunjukkan bahwa beberapa kendaraan mendekat dengan kecepatan tinggi.  


“Sang Kala Teknokrat menemukan kita,” kata Pak Surya dengan wajah serius.  


Ghiga menggenggam tombaknya. “Kita harus bertahan di sini. Mereka nggak boleh masuk.”  


Ki Harjo mengangguk. “Gunakan semua yang telah kau pelajari, Ghiga. Ini waktunya menunjukkan bahwa kau memang layak menjadi penjaga pusaka.”  


Serangan dimulai dengan ledakan besar di gerbang depan. Para anggota Sang Kala Teknokrat yang bersenjata lengkap mulai menyerbu. Ghiga, Ki Harjo, dan Arman bekerja sama untuk melawan mereka.  


Ghiga menggunakan tombak untuk melumpuhkan musuh satu per satu. Kecepatan dan keahliannya dalam silat membuatnya unggul, meskipun jumlah musuh jauh lebih banyak.  


Pak Surya, di sisi lain, menggunakan jebakan teknologi di dalam rumah untuk memperlambat para penyerang. Arman membantu dengan memanipulasi sistem keamanan, mengunci pintu-pintu tertentu dan mengalihkan perhatian musuh.  


Namun, di tengah kekacauan, seorang musuh tangguh muncul. Ia adalah salah satu tangan kanan Dr. Baskara, seorang petarung yang menggunakan eksoskeleton bertenaga untuk meningkatkan kekuatannya.  


“Ghiga Setiawan,” katanya dengan nada dingin. “Aku dikirim untuk memastikan kau tidak keluar hidup-hidup.”  


Pertarungan sengit antara Ghiga dan musuh itu menjadi klimaks bagian ini. Eksoskeleton lawannya membuat Ghiga kesulitan, tetapi dengan kecerdasan dan keterampilannya, Ghiga menemukan celah untuk melumpuhkan musuh itu.  


Setelah pertempuran berakhir, kelompok itu tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal di tempat itu lebih lama. Sebelum pergi, Pak Surya memberikan informasi penting.  


“Pusaka berikutnya ada di Gunung Bromo. Tapi jalannya tidak akan mudah,” katanya.  


Dengan perasaan lelah tetapi tekad yang semakin kuat, Ghiga dan yang lainnya bersiap untuk perjalanan berikutnya, menyadari bahwa mereka semakin dekat dengan takdir mereka—dan dengan ancaman yang lebih besar.