Setelah pertempuran di pabrik tua, Ghiga kembali ke rumah dengan beban di hatinya. Kematian pria tua yang ternyata memiliki hubungan darah dengannya membuka lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Sementara itu, Baskara tetap bebas, dan ancamannya semakin nyata.
Ghiga kembali mempelajari manuskrip kuno yang ia bawa dari candi di Alas Purwo. Dalam teks itu disebutkan bahwa Keris Jagat Pralaya bukan hanya pusaka pelindung, tetapi juga kunci untuk membuka gerbang menuju Alam Jagat Lintang.
“Jika Baskara berhasil membuka gerbang itu...” Ghiga bergumam pada dirinya sendiri. “Dunia ini bisa hancur.”
Ki Harjo, yang kini menetap sementara di rumah Ghiga, ikut membaca teks tersebut. “Alam Jagat Lintang bukan hanya sekadar dimensi lain. Leluhur kita percaya itu adalah tempat di mana energi baik dan jahat berada dalam keseimbangan sempurna. Tapi jika manusia mengaksesnya tanpa bijaksana, kehancuran tidak bisa dihindari.”
“Jadi, kita harus menemukan gerbang itu sebelum Baskara,” kata Arman.
“Masalahnya,” tambah Maya, “Baskara punya teknologi yang lebih canggih dari kita. Dia bisa lebih dulu menemukannya.”
Ghiga terdiam, pikirannya berputar. Ia memutuskan untuk menggunakan kemampuannya sebagai hacker. Ia mulai menyusup ke sistem organisasi Baskara, berharap menemukan petunjuk tentang rencana berikutnya.
Kebocoran Informasi
Setelah berjam-jam bekerja di depan layar komputer, Ghiga menemukan file rahasia yang menyebutkan lokasi potensial gerbang Alam Jagat Lintang: sebuah gunung di Jawa Timur yang dikenal dengan nama Gunung Penanggungan.
“Gunung Penanggungan?” tanya Maya. “Bukannya itu tempat keramat?”
Ki Harjo mengangguk. “Gunung itu disebut sebagai puncak dunia oleh leluhur kita. Banyak yang percaya itu adalah pusat spiritual Jawa.”
Namun, saat Ghiga berhasil mengunduh file tersebut, alarm di sistem Baskara berbunyi. Lokasi mereka telah terlacak.
“Cepat, kita harus pergi sekarang!” seru Ghiga.
Tidak lama kemudian, pasukan Baskara menyerbu rumah Ghiga. Mereka menggunakan drone bersenjata dan tim elit untuk menyerang. Ghiga, Arman, Maya, dan Ki Harjo harus bertarung mati-matian untuk melarikan diri.
Di tengah kekacauan, Ghiga berhasil membawa keris dan manuskrip kuno keluar, tetapi rumahnya hancur total.
Perjalanan ke Gunung Penanggungan
Dengan lokasi gerbang di Gunung Penanggungan, Ghiga dan kelompoknya memulai perjalanan baru. Namun, perjalanan ini jauh lebih berbahaya daripada yang mereka duga.
Mereka harus melewati medan yang sulit dan menghadapi jebakan-jebakan yang tampaknya telah dipasang oleh pihak Baskara. Di tengah perjalanan, kelompok mereka diserang oleh bayangan-bayangan misterius yang muncul di malam hari, menyerupai roh-roh penjaga gunung.
Ki Harjo mengingatkan mereka untuk tetap tenang. “Ini ujian, Ghiga. Jangan biarkan rasa takut menguasai hatimu. Kau harus menunjukkan bahwa niatmu murni.”
Dengan berdoa dan memusatkan pikirannya, Ghiga berhasil memimpin kelompoknya melewati malam yang penuh teror itu.
Pertemuan dengan Penjaga Gerbang
Ketika mereka tiba di puncak Gunung Penanggungan, mereka menemukan sebuah kuil tua yang terlupakan. Di tengah kuil itu terdapat sebuah altar batu yang dipenuhi ukiran-ukiran kuno.
Namun, sebelum mereka bisa mendekati altar, seorang pria tua muncul dari balik bayangan. Ia mengenakan pakaian tradisional Jawa dan membawa tongkat kayu.
“Apa tujuan kalian di sini?” tanyanya dengan suara yang menggema.
Ghiga maju dan menjawab dengan penuh hormat, “Kami datang untuk melindungi gerbang ini dari orang-orang yang ingin menyalahgunakannya. Saya adalah keturunan leluhur yang diberi tugas menjaga keseimbangan.”
Pria itu menatap Ghiga dalam-dalam, seolah menilai ketulusan hatinya. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Kau boleh mendekat, tetapi ingatlah, gerbang ini tidak boleh dibuka, kecuali dalam keadaan yang benar-benar darurat.”
Ghiga mengangguk dan melangkah maju, tetapi pada saat itulah kelompok Baskara tiba.
“Bagus sekali, Ghiga,” kata Baskara dengan senyum licik. “Kau telah memudahkan pekerjaanku.”
Pertempuran besar pun terjadi di puncak Gunung Penanggungan. Ghiga dan teman-temannya harus melawan Baskara dan pasukannya, sambil melindungi altar dan gerbang Alam Jagat Lintang.
Kebangkitan Keris Jagat Pralaya
Saat pertempuran semakin sengit, Baskara berhasil mendekati altar dan mencoba menggunakan teknologi canggihnya untuk membuka gerbang.
Ghiga, yang terluka parah, tidak menyerah. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia menggenggam Keris Jagat Pralaya dan berdoa dengan sungguh-sungguh.
Tiba-tiba, keris itu bersinar terang, dan energi kuat terpancar darinya. Cahaya itu membuat Baskara dan pasukannya terpental, sementara gerbang tetap tertutup rapat.
Baskara, yang kini dalam keadaan lemah, berteriak dengan penuh amarah. “Ini belum berakhir, Ghiga! Aku akan kembali!”
Ia melarikan diri bersama sisa pasukannya, meninggalkan Ghiga dan kelompoknya yang kelelahan tetapi selamat.
Janji untuk Masa Depan
Setelah memastikan gerbang Alam Jagat Lintang aman, penjaga kuil mendekati Ghiga. “Kau telah membuktikan dirimu, anak muda. Tetapi ingat, tugasmu belum selesai. Dunia ini masih penuh dengan ancaman.”
Ghiga mengangguk. “Saya akan menjaga warisan ini dengan segenap hidup saya.”
Dengan semangat baru dan rasa tanggung jawab yang lebih besar, Ghiga bersiap untuk menghadapi tantangan-tantangan baru di masa depan.
Bagian ini diakhiri dengan Ghiga kembali ke Surabaya, membawa keris dan beban tanggung jawab yang lebih besar, sementara ancaman dari Baskara terus membayangi.