Ghiga: Pewaris Takdir Leluhur Session 1 Bagian 12

 Ghiga dan kelompoknya akhirnya tiba di Alas Purwo, sebuah hutan yang dikenal angker dengan legenda dan mitos yang melingkupinya. Mereka mengikuti peta yang dimiliki Arman, tetapi perjalanan ke dalam hutan terasa semakin berat. Suasana di dalamnya sunyi mencekam, hanya diselingi oleh suara burung hantu dan gemerisik daun yang bergerak karena angin.  


“Ini bukan sekadar hutan biasa,” kata Ki Harjo dengan nada serius. “Banyak orang yang tersesat di sini karena mencoba mencari kekuatan tanpa tujuan yang benar.”  


“Jadi kita harus gimana, Pak?” tanya Ghiga sambil menggenggam tombaknya lebih erat.  


“Gunakan instingmu, Ghiga,” jawab Ki Harjo. “Hati yang bersih akan membimbingmu ke jalan yang benar.”  


Pertanda Aneh  

Saat mereka berjalan lebih jauh, Ghiga mulai merasa seolah-olah mereka diawasi. Beberapa kali ia melihat bayangan hitam bergerak cepat di antara pepohonan, tetapi setiap kali ia menoleh, bayangan itu menghilang.  


Maya yang berjalan di belakang Ghiga mendekat. “Kamu juga merasakannya?” tanyanya.  


Ghiga mengangguk. “Ada sesuatu di sini. Tapi aku belum bisa memastikan apa.”  


Maya menatap sekeliling dengan waspada. “Hutan ini punya banyak misteri. Jangan lengah.”  


Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari arah depan, dan tanah di bawah mereka mulai bergetar. Sebuah sosok besar muncul dari balik pepohonan: seekor macan putih dengan mata merah menyala.  


“Macan itu...” Ki Harjo terkejut. “Itu bukan makhluk biasa.”  


Macan putih itu berdiri di hadapan mereka, menghalangi jalan. Ia menatap Ghiga dengan intens, seolah menilai keberaniannya.  


“Ghiga,” kata Ki Harjo, “ini adalah penjaga pusaka terakhir. Kau harus membuktikan dirimu layak untuk melanjutkan perjalanan.”  


Ghiga maju tanpa ragu, meskipun teman-temannya mencoba menahannya. Ia berdiri di hadapan macan itu, menatap balik ke matanya dengan penuh keberanian.  


“Aku tidak datang untuk mencuri atau merusak,” kata Ghiga dengan tenang. “Aku datang untuk melindungi pusaka ini dari mereka yang ingin menyalahgunakannya.”  


Macan itu mengaum, tetapi tidak menyerang. Sebaliknya, ia perlahan mundur, membuka jalan bagi mereka.  


“Dia mengizinkan kita lewat,” kata Ki Harjo lega. “Tapi ini baru permulaan.”  


Pengkhianatan yang Terungkap  

Saat mereka melanjutkan perjalanan, ketegangan di dalam kelompok mulai meningkat. Maya semakin banyak bertanya tentang lokasi pusaka terakhir, yang membuat Arman curiga.  


“Ghiga, aku nggak yakin kita bisa percaya sepenuhnya sama dia,” bisik Arman saat mereka berhenti untuk istirahat.  


“Maya sudah membantu kita beberapa kali,” jawab Ghiga. “Dia punya alasan sendiri untuk melawan Baskara.”  


“Tapi gimana kalau dia punya tujuan lain?” Arman mendesak. “Aku cuma bilang, hati-hati aja.”  


Tidak lama setelah itu, kelompok mereka diserang oleh anak buah Sang Kala Teknokrat yang tampaknya sudah menunggu di jalur mereka. Serangan itu terjadi dengan sangat tiba-tiba, membuat kelompok Ghiga terpencar.  


Di tengah kekacauan, Maya tampak ragu untuk bertarung. Sebaliknya, ia melangkah ke arah salah satu anggota Sang Kala Teknokrat dan berbicara singkat dengan mereka.  


“Maya!” teriak Ghiga, yang melihat kejadian itu dari kejauhan. “Apa yang kamu lakukan?”  


Maya menoleh dengan ekspresi penuh konflik. “Aku tidak punya pilihan, Ghiga. Mereka memegang keluargaku.”  


Pengkhianatan Maya menghancurkan kepercayaan Ghiga, tetapi ia tidak punya waktu untuk marah. Ia harus melindungi teman-temannya dan memastikan pusaka terakhir tidak jatuh ke tangan yang salah.  


Kekuatan Keris Jagat Pralaya  

Setelah berhasil menghalau serangan, Ghiga dan Ki Harjo akhirnya tiba di lokasi pusaka terakhir: sebuah candi kuno yang hampir terkubur sepenuhnya oleh hutan. Di tengah candi itu, sebuah altar kecil berdiri, dengan Keris Jagat Pralaya terletak di atasnya.  


Ghiga melangkah maju, tetapi suara langkah kaki di belakangnya membuatnya berhenti. Dr. Baskara muncul, diikuti oleh pasukan lengkapnya. Maya ada di sampingnya, wajahnya dipenuhi rasa bersalah.  


“Kerja bagus, Ghiga,” kata Baskara dengan senyum dingin. “Kau telah membawa kami ke sini.”  


“Kau nggak akan menyentuh keris itu,” jawab Ghiga tegas.  


“Oh, aku tidak perlu menyentuhnya,” kata Baskara sambil memberi isyarat kepada anak buahnya. “Aku punya banyak cara untuk memaksa.”  


Pertempuran besar pun pecah di dalam candi. Ghiga menggunakan semua yang ia miliki—tombak, cincin, dan ilmu silatnya—untuk melawan pasukan Baskara. Namun, jumlah mereka terlalu banyak, dan Ghiga mulai terdesak.  


Saat Ghiga hampir kalah, Maya tiba-tiba berbalik melawan Baskara. Ia menyerang anak buahnya, memberikan Ghiga kesempatan untuk mendekati keris.  


“Maafkan aku, Ghiga!” teriak Maya. “Aku nggak bisa membiarkan dia menang.”  


Ghiga menggenggam Keris Jagat Pralaya. Begitu ia menyentuhnya, kekuatan luar biasa mengalir melalui tubuhnya. Ia merasa seolah-olah semua pelajaran leluhurnya selama ini berpadu menjadi satu, memberikan kekuatan baru untuk melindungi dunia.  


Dengan keris di tangannya, Ghiga berhasil mengalahkan pasukan Baskara dan memaksa sang ilmuwan licik itu melarikan diri.  


Keputusan yang Berat  

Setelah pertempuran usai, Maya mendekati Ghiga. “Aku tahu aku telah mengkhianatimu, tapi aku hanya ingin melindungi keluargaku. Aku siap menerima hukuman.”  


Ghiga menatapnya dengan tatapan penuh pertimbangan. “Aku nggak bisa membenarkan apa yang kamu lakukan. Tapi aku juga tahu kamu sudah membantu kami. Aku memaafkanmu, tapi kepercayaan itu harus kamu bangun lagi.”  


Maya terdiam, tetapi anggukan kecilnya menunjukkan rasa terima kasih.  


Ki Harjo menepuk bahu Ghiga. “Kau telah melewati ujian terbesar, Ghiga. Tapi ingat, menjaga pusaka ini adalah tanggung jawab seumur hidup.”  


Ghiga mengangguk. Dengan keris di tangannya dan teman-teman di sisinya, ia merasa siap menghadapi tantangan apa pun yang akan datang.  


Namun, jauh di tempat lain, Baskara mulai menyusun rencana baru. Ia tidak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang ia inginkan.  


Bagian ini diakhiri dengan persiapan Ghiga untuk melindungi pusaka-pusaka leluhurnya, sekaligus memperlihatkan ancaman yang masih mengintai di masa depan.