Dr. Baskara berdiri di depan altar, memancarkan aura dominasi. Tangannya melambai, memberi isyarat pada pasukan bersenjata lengkap yang menyertainya untuk mengepung Ghiga, Arman, dan Ki Harjo.
“Tombak itu tidak untukmu, Ghiga,” kata Dr. Baskara dengan nada mengejek. “Ini adalah kunci untuk membawa dunia ke masa depan yang lebih... terkendali. Tugasmu hanya menyerahkan diri.”
Ghiga berdiri tegak, tubuhnya tegang. “Terkendali oleh siapa? Kamu? Dengan menghancurkan tradisi dan membuat dunia tunduk pada kehendakmu?”
Dr. Baskara tersenyum sinis. “Kau terlalu naif, anak muda. Dunia sudah dikuasai oleh mereka yang kuat. Aku hanya mempercepat prosesnya.”
Strategi dan Perlawanan
Ki Harjo menatap Ghiga dengan tenang. “Kendalikan emosimu. Pertarungan ini lebih dari sekadar kekuatan.”
Ghiga memahami pesan itu. Ia merapatkan tangan di dekat tubuhnya, bersiap dengan jurus silat yang telah diajarkan Ki Harjo. Arman, yang sebelumnya ragu, kini berdiri di sisi Ghiga, siap bertarung melawan pasukan Dr. Baskara.
“Bro, ini kesempatan buatku membuktikan bahwa aku bisa berubah,” ujar Arman.
Dr. Baskara memberikan tanda kepada anak buahnya. Pertempuran pun dimulai. Pasukan Sang Kala Teknokrat menggunakan senjata canggih, seperti tongkat listrik dan alat pelumpuh berbasis sinar. Ghiga dan yang lainnya harus mengandalkan kecepatan, strategi, dan kelincahan mereka untuk menghindari serangan.
Ki Harjo, meski usianya tidak muda, membuktikan keahliannya. Dengan tongkat bambu sederhana yang ia ambil dari salah satu sudut ruangan, ia menghadapi musuh-musuhnya tanpa rasa gentar.
Arman menggunakan keahliannya di bidang teknologi. Ia meretas sistem komunikasi para penyerang dengan ponselnya, menciptakan kekacauan di pihak musuh.
Namun, fokus utama Ghiga adalah Dr. Baskara. Mereka berhadapan langsung di tengah ruangan. Dr. Baskara, meski terlihat seperti ahli strategi, ternyata juga memiliki kemampuan bertarung yang tak terduga. Ia menggunakan sarung tangan teknologi canggih yang memancarkan gelombang energi, memaksa Ghiga untuk terus bergerak.
“Ilmumu kuno, Ghiga,” ejek Baskara sambil menyerang.
“Tapi tetap cukup untuk menghentikanmu!” balas Ghiga, meluncurkan serangan balik dengan gerakan silat yang cepat dan presisi.
Kekuatan Tombak Naga Sukma
Di tengah pertarungan, Ghiga mendekati altar tempat Tombak Naga Sukma berdiri. Ia merasakan energi yang kuat memancar dari senjata itu, seolah memanggilnya. Namun, Dr. Baskara segera menghentikannya dengan serangan keras, membuat Ghiga terlempar beberapa meter.
“Kau tidak layak menyentuhnya!” teriak Baskara.
Namun, saat Dr. Baskara mendekati tombak itu, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Tombak itu memancarkan cahaya terang, seolah menolak untuk disentuh oleh siapa pun dengan niat buruk. Baskara terkejut dan terpaksa mundur.
Ki Harjo berteriak, “Ghiga! Hanya kau yang bisa menyatukan energi tombak itu dengan warisan leluhurmu. Fokus!”
Ghiga bangkit dengan tubuh yang terasa sakit. Ia menutup matanya, mengingat ajaran Ki Harjo tentang ketenangan dan kejernihan hati. Dengan langkah mantap, ia mendekati tombak itu sekali lagi.
Ketika Ghiga menyentuh tombak tersebut, cahaya terang menyelimutinya. Sebuah kekuatan baru mengalir dalam dirinya, memberikan kekuatan fisik dan spiritual yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia merasa seolah seluruh leluhurnya hadir bersamanya, memberikan dukungan.
Pertempuran Berakhir Sementara
Dengan kekuatan dari Tombak Naga Sukma, Ghiga mampu melawan pasukan Dr. Baskara dengan mudah. Serangan-serangan teknologi mereka tidak lagi mempan, seolah dilindungi oleh kekuatan tombak.
Dr. Baskara menyadari bahwa situasi tidak menguntungkannya. Dengan amarah yang memuncak, ia memberikan perintah mundur kepada anak buahnya. “Ini belum selesai, Ghiga. Kita akan bertemu lagi.”
Ghiga tidak mengejarnya. Ia tahu bahwa pertarungan ini hanyalah permulaan. Setelah semua pasukan musuh pergi, ruangan menjadi sunyi.
Ki Harjo menatap Ghiga dengan bangga. “Kau telah membuktikan dirimu, tetapi perjalanan ini belum selesai. Ada pusaka lain yang harus kita lindungi.”
Ghiga mengangguk, memegang tombak dengan erat. Ia tahu bahwa tanggung jawabnya semakin besar. Di sisi lain, ia melihat Arman, yang kini menunjukkan tekad baru.
“Maafkan aku, bro. Aku janji akan menebus semua kesalahanku,” kata Arman dengan suara bergetar.
Ghiga menepuk bahunya. “Kita semua punya kesempatan untuk berubah. Tapi jangan pikir perjalanan ini akan mudah.”
Mereka meninggalkan kuil, membawa Tombak Naga Sukma dan harapan baru. Namun, di kejauhan, Dr. Baskara mulai menyusun rencana lebih besar untuk mengalahkan Ghiga dan merebut pusaka yang tersisa.
Bagian ini berakhir dengan suasana tegang, mempersiapkan konflik lebih besar di bagian berikutnya.