Ghiga: Pewaris Takdir Leluhur Session 1 Bagian 2

 Pikiran Ghiga terus mengulang kata-kata misterius yang ia dengar saat menyentuh keris itu. Suara tersebut terasa nyata, namun sulit dipercaya. Ia memutuskan untuk membawa keris dan gulungan kertas kuno itu pulang. Tetapi, saat ia melangkah keluar dari padepokan, firasat buruk merayap di benaknya. Seperti ada yang mengawasi.  


Langkah Ghiga terhenti ketika ia mendengar suara berderit pelan dari lantai kayu di belakangnya. Refleks silatnya mengambil alih, dan ia segera memutar badan, siaga menghadapi ancaman. Namun, yang ia lihat hanyalah bayangan hitam yang melesat cepat, lenyap di balik pepohonan.  


“Siapa di sana?” seru Ghiga, suaranya menggema di tengah malam.  


Tak ada jawaban, hanya suara angin yang menggoyangkan dedaunan. Ghiga menghela napas, berusaha menenangkan dirinya. Namun, instingnya mengatakan bahwa ia sedang diawasi. Ia segera mempercepat langkah menuju motornya, membawa benda-benda itu dengan hati-hati.  


Di perjalanan pulang, Ghiga terus merasa seperti ada sesuatu yang mengikutinya. Sepanjang jalan raya yang sepi, ia melihat bayangan hitam di kaca spion motornya. Ketika ia mempercepat laju motornya, bayangan itu juga semakin dekat.  


Ghiga memutuskan untuk menguji pengejarnya. Ia tiba-tiba memutar motor memasuki gang sempit yang gelap, berharap bisa mengelabui siapa pun yang mengikutinya. Setelah beberapa tikungan tajam, ia berhenti sejenak, mengatur napas sambil menatap ke belakang. Jalanan kosong, tak ada siapa pun.  


“Cuma perasaan saja, mungkin,” gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya.  


Namun, sebelum ia sempat melanjutkan perjalanan, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Kali ini lebih jelas, semakin mendekat. Ghiga meraih tongkat lipat kecil di saku jaketnya—senjata sederhana yang selalu ia bawa.  


“Keluar! Aku tahu kau di sana!” serunya dengan nada tegas.  


Dari bayangan gelap, muncul seorang pria berbadan tegap mengenakan jaket hitam dan masker. Pria itu tak berkata apa-apa, hanya berdiri sambil menatap Ghiga. Ketegangan memuncak ketika pria itu tiba-tiba melangkah maju, dan Ghiga langsung bersiap.  


Tanpa peringatan, pria itu menyerang dengan kecepatan luar biasa. Ghiga nyaris terjatuh ketika berhasil menghindari pukulan pertama. Serangan itu berlanjut dengan tendangan memutar yang memaksa Ghiga mundur. Tapi ia segera mengimbangi, mengandalkan teknik silatnya yang terasah.  


Pertarungan di gang sempit itu sengit. Pria bertopeng itu jelas terlatih, menyerang dengan gerakan cepat dan mematikan. Namun, Ghiga mampu membaca pola serangan lawannya. Dalam satu gerakan balik yang terampil, ia berhasil menjatuhkan pria itu ke tanah.  


“Siapa kau?!” desak Ghiga, menekan tongkatnya ke leher pria tersebut.  


Pria itu tertawa pelan, kemudian menjawab, “Ini baru awal, Ghiga. Kau sudah membuka pintu yang seharusnya tak kau sentuh. Kami akan datang lagi.”  


Sebelum Ghiga sempat bertanya lebih jauh, pria itu melemparkan sesuatu ke tanah—bom asap kecil yang menyelimuti area tersebut. Ketika asap hilang, pria itu telah lenyap tanpa jejak.  


Ghiga berdiri di tempatnya, tubuhnya dipenuhi keringat dan adrenalin. Ia tahu malam ini bukanlah kebetulan. Pesan misterius, pusaka kuno, dan pria bertopeng yang menyerangnya—semua ini terhubung.  


Saat ia akhirnya tiba di rumah, Ghiga segera mengamankan keris dan gulungan kertas itu di ruang kerjanya. Ia membuka gulungan kertas dengan hati-hati, berharap menemukan petunjuk. Tulisan dalam aksara Jawa kuno itu sulit ia pahami, tetapi ada beberapa simbol dan gambar yang membuatnya merinding.  


Sebuah peta. Dan di bawahnya, satu kata dalam bahasa Jawa: "Pilihan."  


Ghiga menatap peta itu dalam-dalam, tanpa menyadari bahwa saat itu, seseorang tengah mengawasi rumahnya dari kejauhan, mengirim pesan singkat:  

"Target berhasil membawa pusaka. Lanjutkan operasi."