Ghiga: Pewaris Takdir Leluhur Session 1 Bagian 13

 Setelah pertempuran sengit di Alas Purwo, Ghiga kembali ke Surabaya bersama Ki Harjo, Arman, dan Maya. Namun, rasa damai yang seharusnya ia rasakan tidak kunjung tiba. Firasat buruk menghantui Ghiga, seolah pertempuran mereka belum sepenuhnya berakhir.  


Di rumah, Ghiga mulai meneliti lebih dalam tentang Keris Jagat Pralaya. Ia membaca manuskrip kuno yang ditemukan di candi, yang menjelaskan bahwa keris itu tidak hanya simbol kekuatan, tetapi juga kunci untuk membuka sebuah dimensi lain.  


“Dimensi lain?” tanya Arman heran ketika Ghiga menjelaskan temuannya.  


Ghiga mengangguk. “Dimensi ini disebut Alam Jagat Lintang. Leluhur kita percaya bahwa dimensi itu adalah tempat asal segala kekuatan baik dan jahat. Jika gerbangnya terbuka, keseimbangan dunia bisa terganggu.”  


Ki Harjo menghela napas panjang. “Itu artinya tugas kita belum selesai, Ghiga. Pusaka ini harus dijaga dengan nyawa.”  


Namun, di tengah persiapan mereka, Ghiga menerima sebuah pesan misterius melalui email anonim. Pesan itu berisi video yang menunjukkan seseorang sedang disandera—seseorang yang tak pernah ia duga: ibunya.  


“Ibumu masih hidup,” kata Arman dengan nada gemetar. “Kita semua mengira dia meninggal bertahun-tahun lalu.”  


Ghiga tertegun. “Ini tidak mungkin... siapa yang melakukannya?”  


Video itu diakhiri dengan suara familiar: Dr. Baskara. “Jika kau ingin melihat ibumu lagi, datanglah sendiri ke lokasi yang aku kirimkan. Jangan bawa siapa pun, atau dia mati.”  


Pengejaran Bahaya  

Ghiga, yang dikuasai oleh emosi, memutuskan untuk pergi sendiri, meskipun Arman dan Maya memohon untuk ikut.  


“Ini jebakan, Ghiga!” seru Maya. “Kamu nggak bisa menyerahkan dirimu begitu saja!”  


“Tapi ini ibuku!” balas Ghiga dengan suara bergetar. “Aku nggak peduli risiko apa pun, aku akan menyelamatkannya.”  


Meski begitu, Ki Harjo memberi Ghiga sebuah kalung kuno yang dipercaya mampu melindungi pemakainya dari energi negatif. “Bawalah ini. Kau mungkin menghadapi sesuatu yang lebih besar dari sekadar Baskara.”  


Lokasi yang diberikan Baskara ternyata sebuah pabrik tua di pinggiran kota. Ghiga memasuki gedung itu dengan hati-hati, tetapi suasananya sunyi, terlalu sunyi.  


“Selamat datang, Ghiga,” suara Baskara terdengar menggema melalui pengeras suara. “Aku tahu kau akan datang. Ketulusanmu adalah kelemahan sekaligus kekuatanmu.”  


Ghiga mencoba mencari sumber suara itu, tetapi tiba-tiba sekelompok orang muncul dari kegelapan, bersenjata lengkap.  


“Aku nggak akan lari,” kata Ghiga pada dirinya sendiri. Dengan kecepatan dan kelincahan yang ia pelajari selama bertahun-tahun, ia melawan para penyerangnya satu per satu.  


Namun, saat Ghiga mendekati tempat di mana ibunya seharusnya ditahan, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan: itu hanyalah hologram.  


“Baskara!” Ghiga berteriak marah. “Keluar dan hadapi aku!”  


Kebenaran yang Tersembunyi  

Di saat itulah Baskara muncul, tetapi ia tidak sendiri. Bersamanya ada seorang pria tua dengan jubah putih, wajahnya penuh kerut, tetapi sorot matanya tajam.  


“Kenalkan, Ghiga,” kata Baskara dengan senyum sinis. “Ini adalah ayah kandungmu.”  


Dunia Ghiga seakan berhenti. “Apa maksudmu? Itu nggak mungkin. Ayahku adalah Setiawan.”  


Pria tua itu mendekat, menatap Ghiga dengan tatapan penuh emosi. “Aku adalah penjaga terakhir sebelum pusaka itu jatuh ke tanganmu. Untuk melindungi keluarga kita, aku meninggalkanmu dan ibumu, mempercayakanmu kepada Setiawan.”  


“Semua ini hanya trik,” sergah Ghiga. “Aku nggak akan percaya pada kebohonganmu.”  


Baskara tertawa. “Percayalah atau tidak, itu tidak penting. Yang aku butuhkan hanyalah keris itu. Berikan, atau aku akan menghabisi semua yang kau sayangi.”  


Pertempuran yang Tak Terelakkan  

Ghiga menolak menyerahkan keris, dan pertempuran besar pun terjadi. Baskara menggunakan teknologi canggih untuk melawan Ghiga, termasuk robot-robot tempur yang dilengkapi senjata laser.  


Namun, kali ini Ghiga tidak sendirian. Maya dan Arman, yang telah mengikuti dari kejauhan, muncul untuk membantunya.  


“Kami nggak akan membiarkan kamu melakukannya sendiri,” kata Arman sambil menyerang salah satu robot.  


Dengan kerja sama mereka, Ghiga akhirnya berhasil melumpuhkan Baskara. Tetapi sebelum mereka bisa menangkapnya, Baskara menggunakan alat teleportasi untuk melarikan diri.  


Pria tua itu, yang kini terungkap sebagai bagian dari masa lalu Ghiga, terluka parah dalam pertempuran.  


“Ghiga,” katanya dengan suara lemah. “Jagalah pusaka ini dengan baik. Kau adalah harapan terakhir leluhur kita.”  


Pria itu meninggal di hadapan Ghiga, meninggalkan beban besar di pundaknya.  


Bagian ini diakhiri dengan Ghiga bersumpah untuk melindungi pusaka leluhurnya dari siapa pun yang mencoba menyalahgunakannya, sementara ancaman dari Baskara masih menggantung di udara.