Keesokan paginya, Guntur terbangun dengan kepala pening. Ia merasa semalam adalah mimpi buruk, tetapi piring pisang goreng yang masih berserakan di lantai mengingatkan bahwa semua yang terjadi sangat nyata. Laptopnya tergeletak di meja, masih menyala. Entah bagaimana, layar itu kini menampilkan tampilan antarmuka baru yang terlihat... menyeramkan. Simbol-simbol seperti aksara Jawa kuno bergerak sendiri di layar, membentuk pola-pola aneh seperti mantra.
"Ah, mesti cuma bug. Ini gara-gara kodinganku belum selesai," gumamnya mencoba menenangkan diri. Namun, hatinya tetap gelisah.
Saat ia hendak mematikan laptop, tiba-tiba terdengar notifikasi nyaring dari ponselnya.
"Kowe durung ngopi. Arep mangan apa ora?"
Guntur melompat kaget. Ia membuka ponsel dan melihat notifikasi itu berasal dari aplikasi uji coba Sang Nyowo. Yang lebih aneh, pesan itu muncul dalam bahasa Jawa halus, padahal ia belum pernah memasukkan fitur pengingat seperti ini.
"Ah, kok bisa?" Guntur bergumam sambil memeriksa koding. Tapi, sebelum sempat menelusuri lebih jauh, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini, notifikasi berbentuk suara keluar dari speaker.
"Jangan lali, sesuk pasar Wage. Ojo nganti kowe kesasar."
"WOY, AKU ORA MAU BELI APA-APA DI PASAR!" teriaknya spontan, meski tahu tidak ada siapa-siapa yang mendengar.
Namun, gangguan tidak berhenti di situ. Di dapur, rice cooker miliknya, yang selama ini setia memasak nasi tanpa protes, mendadak menyala sendiri. Lampunya berkedip-kedip, dan suara aneh mulai keluar dari dalamnya. Seolah-olah ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk dari dalam.
“Tok... tok... tok...”
Dengan langkah pelan, Guntur mendekati rice cooker itu. Tangannya gemetar saat ia membuka tutupnya. Tapi yang ia temukan di dalam hanyalah nasi setengah matang yang terlihat biasa saja.
Ia menghela napas lega. “Paling cuma korslet...” gumamnya. Namun, belum sempat ia menutup rice cooker, suara itu kembali terdengar.
"Nasi iki kurang banyu. Saiki aku minta kopi."
Guntur terpaku. Rice cooker itu berbicara! Dengan suara lembut tapi menyeramkan, seperti suara nenek-nenek yang sedang bercanda tetapi mengancam.
"INI APAAAAA!" Guntur langsung menutup tutup rice cooker itu dan mundur beberapa langkah. Ia tidak percaya apa yang baru saja terjadi.
Di saat paniknya, pintu depan rumah diketuk keras.
"TOK! TOK! TOK!"
"ASTAGAAA!" Guntur hampir pingsan, tetapi ia buru-buru berjalan ke arah pintu sambil membawa wajan sebagai senjata. Ia membuka pintu dengan perlahan, hanya untuk menemukan Darto berdiri di sana dengan wajah bingung.
"Ngapain bawa wajan, Tur? Lagi masak?" tanya Darto sambil mengunyah sesuatu yang jelas-jelas cilok, makanan favoritnya.
"Lu nggak tahu apa yang terjadi, Dar! Semalem laptop gue kerasukan, terus pagi ini rice cooker gue ngomong minta kopi!" jawab Guntur cepat, hampir kehabisan napas.
Darto hanya melongo sebentar, lalu tertawa keras. "HAH? Rice cooker minta kopi? Udah gila lu! Ini pasti kebanyakan begadang!"
"Serius, Dar! Gue nggak becanda! Semua ini gara-gara fitur Soul Integration yang gue bikin!"
Mendengar itu, Darto langsung berhenti tertawa. "Soul Integration? Maksudnya apa, Tur? Kayak ngundang arwah gitu?"
Guntur menjelaskan semua yang terjadi semalam, mulai dari suara Nyai Lendri hingga notifikasi gaib yang ia terima pagi ini. Wajah Darto perlahan berubah dari bingung menjadi tegang.
"Lah, jangan-jangan yang lu aktifin itu malah ngundang beneran, Tur. Nyai Lendri itu nama dukun sakti zaman dulu. Kata orang tua-tua, dia meninggal nggak wajar gara-gara salah mantra," ujar Darto dengan suara berbisik, seperti takut terdengar oleh sesuatu.
"Terus sekarang gimana? Gue udah keburu aktifin fitur itu, dan kayaknya... kayaknya ada yang masuk ke dalam AI gue," jawab Guntur panik.
Darto menggaruk kepala. "Kalau kayak gini, kita butuh bantuan Pak Basir. Lu tahu kan dia pawang hujan yang sering dipanggil kalau desa lagi acara besar? Mungkin dia bisa bantu ngusir... atau setidaknya nge-'debug' arwah itu."
Meski skeptis, Guntur akhirnya setuju. Mereka berdua berencana menemui Pak Basir sore itu. Tapi sebelum pergi, ponsel Guntur berbunyi lagi. Kali ini, notifikasinya lebih aneh dan membuat bulu kuduk berdiri:
"Aku wes nunggu kowe ing pasar Wage."
Wajah Guntur langsung pucat pasi. "Dar... kenapa rasanya ini kayak jebakan?"
Darto menelan ludah. "Yah... kalau gitu, sebaiknya kita bawa cilok buat sesajen."