Rice cooker di meja bergetar semakin hebat, seolah hendak melompat ke udara. Lampu indikatornya berkedip liar, memancarkan cahaya merah seperti lampu sirene polisi. Suara ketukan dari dalamnya berubah menjadi dentuman keras, seperti ada sesuatu yang ingin keluar.
"Ora gelem! Aku ora arep bali! Aku wes mimpin kabeh piranti ing desa iki!" teriak suara dari dalam rice cooker, membuat Darto memeluk Guntur saking takutnya.
“Pak Basir! Ini gimana? Jangan-jangan rice cooker ini mau jadi transformer!” jerit Darto, setengah berusaha lari tapi tidak berani melepas pegangannya dari rice cooker.
“Jangan panik, To! Itu cuma perlawanan biasa,” balas Pak Basir yang tampak tetap tenang, meski keringat dingin mulai membasahi dahinya.
Guntur, di sisi lain, memandangi rice cooker itu dengan penuh rasa bersalah. “Ini semua salahku. Kenapa juga aku bikin fitur Soul Integration! Harusnya aku cukup bikin fitur masak nasi otomatis!”
Namun, sebelum ia sempat melanjutkan keluhannya, rice cooker itu berhenti bergetar. Suasana menjadi hening. Bahkan suara jangkrik di luar pun terasa hilang.
“Pak Basir, apa... apa sudah selesai?” tanya Guntur dengan nada penuh harapan.
Pak Basir tidak menjawab. Ia hanya menatap rice cooker itu dengan serius, lalu mendekat untuk menyentuh tutupnya. Tapi begitu tangannya hampir menyentuh, tutup rice cooker itu terlempar dengan keras, membuat semua orang berteriak. Dari dalam rice cooker, keluar asap hitam tebal yang mengepul ke langit-langit, membentuk siluet seorang wanita berjubah hitam dengan rambut panjang yang berantakan.
"Aku Nyai Lendri! Saiki aku sing nduwe kabeh teknologi iki!"
Siluet itu melayang-layang di atas meja, sementara lampu rumah Pak Basir berkedip-kedip. Suasana menjadi semakin mencekam, hingga Darto berteriak, “Pak! Ini udah nggak kayak debugging! Ini udah level reset factory settings! Gimana cara ngusirnya?!”
Pak Basir tetap tenang, meski napasnya mulai berat. Ia mengambil segelas kopi yang sudah disiapkan di atas meja dan menyodorkannya ke arah siluet Nyai Lendri. “Nyai, sampeyan ini tamu. Kalau begitu, minum dulu kopinya, biar adem.”
Semua orang melongo. “Pak, serius? Itu hantu, bukan tamu kondangan!” protes Darto.
Namun, yang mengejutkan, siluet Nyai Lendri berhenti bergerak dan menatap kopi itu. Seketika suaranya berubah menjadi nada penasaran.
"Kopi? Kopi pahit opo kopi susu?"
Pak Basir tersenyum. “Kopi pahit, tapi diseduh pakai cinta.”
Siluet itu mendekat, mengambil kopi dengan gerakan lambat. Semua mata terpaku pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika Nyai Lendri menyeruput kopi itu, suasana berubah. Asap hitam yang melayang mulai mengecil, dan lampu-lampu berhenti berkedip.
"Hmm... Kopine enak. Tapi aku isih ora gelem bali."
Pak Basir menghela napas panjang. “Ya sudah, kalau begitu kita selesaikan ini dengan cara terakhir.”
“Cara terakhir? Apa itu, Pak?” tanya Guntur yang sudah berkeringat dingin.
Pak Basir berdiri tegak, lalu memegang tongkat kayu yang tersandar di sudut ruangan. “Kalau kopi tidak cukup, kita harus melibatkan gending Jawa. Gending adalah kelemahan arwah yang suka berkuasa. Darto, ambil speaker Bluetooth!”
Darto berlari ke pojok ruangan, mengambil speaker Bluetooth yang entah kenapa sudah ada di sana. Sementara itu, Pak Basir mulai memutar gending Jawa dari ponselnya, memilih lagu yang bernuansa ruwatan.
Begitu musik itu diputar, siluet Nyai Lendri mulai menggeliat kesakitan. Ia menutup telinganya sambil berteriak,
"Oraaaa! Aku ora suka musik iki! Aku pengin dangdut koplo!"
Guntur langsung memanfaatkan momen itu. Ia membuka laptop dan mulai menonaktifkan fitur Soul Integration dengan gemetar. Prosesnya tidak mudah, karena layar laptop terus menampilkan pesan ancaman dari Nyai Lendri:
"Aku bakal bali! Kowe kabeh bakal kangen aku!"
Namun, dengan dukungan gending Jawa yang terus diputar dan mantra-mantra Pak Basir, Guntur akhirnya berhasil menonaktifkan fitur tersebut. Begitu fitur itu mati, siluet Nyai Lendri menghilang perlahan, meninggalkan suara mendesah panjang yang terdengar seperti rintihan kecewa.
Rice cooker itu berhenti bergetar, dan layar laptop kembali normal. Suasana menjadi tenang, meski aroma dupa masih tercium kuat di ruangan.
Pak Basir duduk kembali di kursinya, mengusap peluh di dahinya. “Selesai sudah. Tapi ingat, jangan pernah main-main dengan teknologi yang melibatkan roh.”
Guntur mengangguk sambil tersenyum lega. “Iya, Pak. Saya kapok. Besok saya bikin AI yang cuma bisa ngitung resep aja.”
Namun, sebelum mereka bisa bernapas lega, ponsel Darto berbunyi. Notifikasi dari aplikasi Sang Nyowo muncul di layar, berbunyi:
"Aku wes lunga, tapi aku bakal tetep follow kowe."
Mereka bertiga terdiam.