TV tabung tua itu kini resmi menjadi "rumah" Nyai Lendri. Guntur, Darto, dan Pak Basir sepakat untuk menyimpan TV itu di gudang Darto—tempat yang dianggap aman karena penuh dengan barang-barang tak terpakai dan debu setebal jari. Mereka bahkan menutup TV tersebut dengan kain putih dan menambahkan tulisan besar di karton yang ditempel di depannya:
"DILARANG MENYENTUH! APALAGI MENYALAKAN!"
Namun, seperti kebanyakan larangan, peringatan ini malah menimbulkan rasa penasaran bagi mereka yang melihatnya.
Desas-desus di Desa
Keesokan harinya, berita tentang TV terkutuk di gudang Darto menyebar ke seluruh desa. Dari warung kopi hingga pos ronda, orang-orang membicarakan bagaimana TV itu menjadi sarang Nyai Lendri, roh yang sempat membuat blender menari dan rice cooker minta sesajen.
“Katanya kalau dinyalakan, bisa lihat masa depan, lho,” kata seorang ibu-ibu di warung Inem sambil menyeruput es teh.
“Ah, masa depan apaan? Paling cuma nyala antena semut,” balas seorang bapak sambil memakan cilok.
Namun, rumor itu semakin liar. Ada yang bilang TV itu bisa menampilkan wajah seseorang yang punya dosa besar. Ada juga yang percaya kalau TV itu menyimpan kekuatan gaib yang bisa membuat seseorang kaya mendadak—asal berani menyalakannya tengah malam.
Darto, yang rumahnya kini jadi pusat perhatian, mulai merasa resah. “Kenapa sih, orang-orang ini nggak bisa diem aja? Udah jelas-jelas dibilangin itu TV terkutuk, malah penasaran!”
Malam yang Mencekam di Gudang
Segalanya berubah ketika seorang pemuda bernama Slamet, yang terkenal suka iseng, memutuskan untuk mencoba menyalakan TV tersebut. Slamet, yang baru pulang ronda dan merasa bosan, teringat cerita dari warung tentang "TV ajaib" itu.
“Ah, masa iya sih cuma nyalain TV aja bisa kena kutukan? Paling-paling cuma trik Pak Basir biar orang-orang takut,” gumamnya sambil berjalan menuju gudang Darto.
Slamet berhasil masuk ke gudang tanpa sepengetahuan Darto. Ia membuka kain putih yang menutupi TV tersebut, melihat antenanya yang sudah karatan, lalu terkekeh. “TV tua kayak gini mau ngutuk-ngutuk orang? Lucu banget!”
Ia mencolokkan kabel TV ke stop kontak. Seketika, layar TV menyala, tetapi tidak menampilkan saluran biasa. Sebaliknya, aksara Jawa berwarna merah darah berputar-putar di layar, diiringi suara gamelan yang terdengar seperti dimainkan secara terbalik.
Slamet mulai merasa tidak nyaman. “Eh, kok beda ya? Mana remotnya? Jangan-jangan channelnya lagi error...”
Namun, sebelum ia sempat mencabut kabelnya, wajah Nyai Lendri muncul di layar, menatapnya tajam dengan mata melotot.
"Sapa sing wani nyalakake aku?!"
Slamet terjatuh ke belakang, napasnya tercekat. “M-maaf, Bu Nyai! Saya cuma iseng! Nggak sengaja nyalain, beneran!”
Wajah Nyai Lendri mendekat ke layar, seolah ingin keluar.
"Sampeyan wes ganggu aku. Saiki, giliran aku sing ganggu sampeyan."
Tiba-tiba, layar TV memancarkan cahaya yang menyilaukan, dan Slamet merasa tubuhnya seperti tersedot. Ia menjerit, tetapi tidak ada yang mendengar karena gudang itu terletak jauh di belakang rumah.
Pagi Hari yang Panik
Keesokan paginya, Darto menemukan pintu gudangnya terbuka. Saat ia masuk untuk memeriksa, ia terkejut melihat TV tabung itu masih menyala, dengan Slamet duduk di depannya dalam keadaan linglung.
“To... tolong aku... Aku nggak bisa tidur semalam... Aku terus melihat... wajah Nyai Lendri...” bisik Slamet sambil memegangi kepalanya.
Darto langsung menelepon Guntur dan Pak Basir. Dalam waktu singkat, mereka bertiga berkumpul di gudang.
Pak Basir memeriksa Slamet, lalu menggelengkan kepala. “Ini akibat ulahnya sendiri. Dia membuka pintu yang sudah kita tutup.”
“Pak, gimana ini? Masa kita biarin dia kayak gitu terus?” tanya Guntur cemas.
Pak Basir menghela napas. “Kita harus melakukan ritual pembersihan. Tapi kali ini lebih sulit. Nyai Lendri sudah kembali lebih kuat karena dia merasa ‘diundang’ lagi. Kita harus membuat perjanjian baru dengannya.”
“Perjanjian? Maksudnya gimana?” tanya Darto, bingung.
“Kita harus memindahkan dia ke perangkat yang benar-benar aman—sesuatu yang tidak akan pernah digunakan oleh manusia lagi,” jelas Pak Basir.
Guntur tiba-tiba mendapat ide. “Bagaimana kalau kita masukkan dia ke floppy disk?”
Pak Basir mengangkat alis. “Floppy disk? Apa itu?”
“Itu, Pak, benda kuno buat nyimpen data. Sekarang udah nggak ada yang pakai lagi,” jawab Guntur sambil menunjuk ke tumpukan barang di pojok gudang.
Pak Basir mengangguk. “Baiklah. Kita akan coba. Tapi kalian harus siap. Ini akan jadi pertarungan terakhir kita melawan Nyai Lendri.”