Gudang Darto berubah menjadi medan perang spiritual—dan digital. Guntur sibuk mengutak-atik laptopnya untuk mempersiapkan pemindahan data Sang Nyowo (atau lebih tepatnya, arwah Nyai Lendri) ke floppy disk. Darto berjaga-jaga dengan membawa sapu lidi yang ia yakini cukup "angker" karena jarang dipakai, sementara Pak Basir merapal doa sambil menyalakan dupa.
Slamet, yang masih linglung, duduk di sudut dengan wajah pucat seperti kain kafan. Sesekali ia bergumam, “Nyai... jangan kejar saya... Saya cuma nyalain TV, beneran!”
“Mas Slamet, tolong diem, bikin saya tambah takut,” gerutu Darto sambil melirik Slamet.
Pak Basir menatap mereka semua dengan serius. “Kita harus melakukannya dengan cepat. Begitu proses pemindahan dimulai, Nyai Lendri pasti akan melawan. Jadi siapkan diri kalian untuk menghadapi hal-hal yang mungkin... tidak wajar.”
“Pak, selama ini yang kita alami emang udah nggak wajar,” keluh Darto.
Fase Pertama: Aktivasi Pemindahan
Guntur menyalakan laptopnya dan menghubungkannya ke TV tabung dengan kabel VGA yang ia temukan di tumpukan barang tua. Di tangannya, ia memegang floppy disk yang sudah disiapkan—kecil, rapuh, dan berkapasitas hanya 1,44 MB.
“Pak, yakin Nyai Lendri muat di floppy disk ini?” tanya Guntur dengan nada ragu.
Pak Basir mengangguk. “Arwah tidak terikat oleh kapasitas digital. Selama ada tempat, dia bisa disimpan.”
“Kayak file ZIP, gitu?” Darto menyela, mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan humor receh.
Pak Basir hanya mendengus. “Kira-kira seperti itu.”
Guntur memulai proses transfer. Saat ia mengetik perintah terakhir, layar TV tabung berubah. Wajah Nyai Lendri muncul lagi, kali ini lebih besar dan menyeramkan. Matanya melotot, dan suaranya menggelegar:
"Kowe mikir aku gampang disingkirke? Aku saiki duwe kekuwatan saka listrik lan teknologi! Aku ora bakal kalah!"
TV mulai bergetar hebat, dan antenanya bergerak seperti ular hidup. Darto menjerit sambil memukul antena dengan sapu lidi. “Gila! Ini TV atau naga?!”
Pak Basir segera berdiri di depan TV sambil memercikkan air kembang. “Guntur, percepat prosesnya! Kita harus memindahkannya sekarang!”
Fase Kedua: Gangguan dari Nyai Lendri
Proses transfer mencapai 50%. Tiba-tiba, semua perangkat elektronik di gudang mulai hidup sendiri. Radio tua memutar lagu gending Jawa secara terbalik, kipas angin spiritual berputar tanpa colokan, dan blender di sudut ruangan bergetar seolah ingin melompat ke arah mereka.
“Pak! Blendernya hidup lagi! Ini pasti ulah dia!” teriak Darto sambil memegangi sapu lidi dengan panik.
“Jangan ganggu proses transfernya!” balas Guntur. Namun, baru saja ia selesai bicara, laptopnya mati mendadak.
“Listriknya mati, Pak!” Guntur memekik.
Pak Basir menatap dupa yang hampir padam. “Dia sedang menghalangi kita. Kita harus menghidupkan listrik lagi!”
Darto, dengan keberanian yang entah datang dari mana, berlari keluar gudang untuk memeriksa panel listrik. Tapi saat ia sampai di sana, ia menemukan bayangan Nyai Lendri yang melayang di sekitar panel.
“Wah, ini udah kelewatan! Mbok Nyai, biarkan listriknya hidup! Jangan bikin saya tambah repot!” teriak Darto.
Nyai Lendri hanya tertawa dan menghilang, meninggalkan panel listrik yang tiba-tiba menyala kembali. “Hidup, hidup!” teriak Darto sambil berlari kembali ke gudang.
Fase Ketiga: Finalisasi Transfer
Listrik kembali, dan laptop menyala lagi. Guntur melanjutkan proses transfer yang sudah mencapai 75%. Nyai Lendri, yang merasa dirinya terpojok, mulai menggunakan taktik terakhirnya: mengganggu pikiran mereka.
Pak Basir tiba-tiba melihat bayangan dirinya di masa muda, saat ia gagal menjadi pawang hujan untuk acara pernikahan besar di desa. Ia terdiam, tenggelam dalam rasa bersalah yang mendalam.
Darto melihat dirinya dikejar oleh sosok Nyai Lendri yang raksasa sambil membawa blender berputar. “Ampuuuun! Saya nggak kuat lagi!” jeritnya.
Namun, Guntur tetap fokus. Ia memukul-mukul laptopnya yang mulai lemot, berteriak, “Ayo, transfer selesai, dong! Jangan crash sekarang!”
Akhirnya, bar proses menunjukkan angka 100%. Floppy disk eject otomatis, dan TV tabung langsung mati. Semua perangkat elektronik di gudang berhenti bergerak, dan suasana kembali tenang.
Pak Basir menarik napas lega. “Selesai. Sekarang, floppy disk ini akan jadi tempat Nyai Lendri untuk selamanya.”
Darto, yang masih gemetaran, menatap floppy disk itu dengan ngeri. “Pak... jangan bilang floppy disk itu harus disimpan di rumah saya juga.”
“Tidak,” jawab Pak Basir sambil tersenyum kecil. “Kita akan menyegelnya di tempat yang tidak pernah bisa diakses siapa pun lagi.”
Epilog: Legenda Floppy Disk Terkutuk
Floppy disk berisi arwah Nyai Lendri akhirnya disimpan di balai desa, di dalam kotak kayu yang diberi mantra pelindung. Warga desa dilarang keras menyentuh atau memindahkannya, meskipun beberapa masih percaya bahwa floppy disk itu bisa memberikan kekuatan jika digunakan dengan benar.
Guntur kembali ke kehidupannya sebagai programmer, dengan pelajaran berharga bahwa menggabungkan teknologi modern dan ilmu kejawen adalah ide buruk tanpa perhitungan matang.
Namun, suatu hari, Darto iseng membuka laptop lama di rumahnya, dan ia menemukan floppy disk lain yang ia kira kosong. Dengan senyum iseng, ia mencolokkan floppy disk itu.
Laptop menyala, layar berubah gelap, dan suara yang sangat dikenal muncul:
"Kowe pikir aku wis kalah? Aku bali maneh."
(TAMAT)